Rabu, 24 Desember 2008

HIDUP PENUH KEKAGUMAN

Bayangkan sebuah peristiwa yang biasa dialami seorang anak kecil.

Suatu ketika anak itu melihat seekor ulat bulu yang meliuk-liuk
menuju tempat daun segar makanannya. Mata anak itu membelalak. Ia
mengulurkan tangannya dan berusaha menyentuh punggung ulat berbulu
tersebut dengan jarinya. Namun, tiba-tiba ia tersentak. Jarinya
terasa gatal. Ia mencoba sekali lagi, dan kali ini seputar jari
telunjuknya terasa tersengat. Ulat itu melingkar di jari telunjuknya
dan dari enam belas kaki ulat tadi terasa isapan-isapan. Anak itu
tertawa keras sambil mengamati sebagian ciptaan Tuhan yang tak
pernah dibayangkannya. Ia terpesona, takjub, dan dipenuhi rasa kagum.

Hal-hal seperti ini sering dialami seorang anak kecil: Segala
sesuatu tampak menakjubkan. Kalau ia melihat seekor ulat yang gemuk
berubah menjadi kupu-kupu yang berwarna kuning cerah ia akan
terpukau, terpesona, dan seolah-olah terhisap.

Kemudian terjadilah perubahan dalam hidup. Anak itu bertambah besar,
berkembang menjadi dewasa, dan barangkali sekarang menginjak
beberapa ulat yang dulu ia kagumi. Inilah yang sering kita alami.
Keajaiban kupu-kupu tak lagi menarik perhatian kita. Segalanya
tampak biasa-biasa saja. Kalau itu yang terjadi, kita perlu waspada
karena sesuatu yang hakiki mungkin telah hilang dari diri kita.

Mengapa ''penglihatan'' kita berbeda dari anak-anak? Ada tiga hal
yang mungkin terjadi. Pertama, berbeda dari anak-anak, kita
cenderung melakukan segala sesuatu dengan tergesa-gesa. Kita pun
sering mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus. Anda mungkin
sarapan pagi sambil membaca koran dan menonton televisi. Anda
menyetir mobil sambil menjawab telepon. Anda berbicara dengan
bawahan sambil mengetik di komputer.

Akibatnya Anda tak sepenuhnya menyadari apa yang sedang terjadi.
Anda jarang benar-benar ada di sini saat ini untuk menikmati dan
menyadari segala sesuatu. Lebih parah lagi, Anda cenderung
digerakkan dari luar, bukannya dari dalam diri Anda sendiri.

Untuk bisa menikmati keajaiban Anda justru harus memperlambat irama
hidup Anda. Jangan lupa, manusia bukanlah human doing yang terus
menerus melakukan pekerjaan. Kita adalah human being. Ini hanya akan
terjadi kalau kita hidup dengan irama yang lebih pelan. Hidup
seperti ini jauh lebih efektif, lebih berseni sekaligus lebih kaya.
Hidup lebih pelan memberikan kita waktu untuk berhenti, berpikir,
merenung, dan memutuskan sesuatu dengan penuh kesadaran. Kesadaran
inilah pintu untuk melihat keajaiban.

Kedua, kita kurang menghargai hal-hal kecil. Kita cenderung
memikirkan hal-hal yang kita anggap ''besar.'' Padahal alam semesta
ini didesain dari hal-hal kecil yang sangat rinci dan kompleks.
Eknath Easwaran, seorang guru meditasi, mengatakan bahwa keajaiban
Tuhan memiliki dimensi yang unik, yaitu ''lebih kecil dari yang
paling kecil dan lebih besar dari yang paling besar.'' Coba
perhatikan serangga dan hewan-hewan kecil lainnya. Lihatlah jutaan
planet dan galaksi di alam raya. Coba perhatikan susunan tubuh kita
sendiri. Anda akan merasa takjub dan kagum luar biasa.

Kalau kita menghargai setiap hal yang kita jumpai kita akan
menikmati keajaiban yang tiada habis-habisnya. Anda akan senantiasa
mendengar suara Tuhan pada setiap nafas yang berhembus, pada desir
angin yang berbisik.

Ketiga, dan ini lebih serius lagi, anak-anak mampu menangkap
keindahan karena mereka masih jernih, otentik, dan bersih. Mereka
masih sangat dekat dengan jiwa sejati kita.

Sewaktu kecil kita betul-betul merupakan makhluk spiritual. Pada
saat itu kebutuhan jasmani kita amat terbatas. Kita hanya
mengonsumsi benda-benda sebatas kebutuhan kita. Namun, semakin
dewasa kebutuhan kita semakin banyak. Yang lebih parah lagi, kita
telah mencampuradukkan kebutuhan dengan keinginan. Kebutuhan kita
sebetulnya terbatas, tapi keinginan tak ada batasnya. Bahkan,
setelah sebuah keinginan terpenuhi, keinginan yang lain pun segera
bermunculan.

Masalahnya, semakin kita memperturutkan keinginan, semakin jauhlah
kita dari diri kita yang asli. Keinginan selalu mengajak kita
meninggalkan diri sejati menuju ego. Padahal ego inilah akar dari
segala permasalahan yang kita hadapi. Semakin kita mendekati ego,
semakin kita akan kehilangan kontak dengan jiwa sejati kita. Ini
biasanya ditandai dengan keadaan depresi, mudah marah, masalah
lambung, dan tekanan darah tinggi.

Satu-satunya cara untuk mengatasi hal itu adalah dengan kembali
mendekati jiwa sejati kita. Inilah yang akan melahirkan ketentraman
sejati. Diri sejati sebenarnya berada sangat dekat, bahkan lebih
dekat dari tubuh kita sendiri. Inilah sebenarnya akar dari semua
keberadaan kita. Di sini lah kita akan menemukan solusi dari setiap
persoalan.

Kalau Anda mendekati diri sejati Anda, setiap momen akan terasa
segar, indah, dan menakjubkan. Lebih dari itu, perasaan-perasaan
takjub ini akan melahirkan satu hal: perasaan rindu untuk bertemu
dengan Yang Maha Indah. Kita sadar sepenuhnya bahwa tak ada sesuatu
pun yang diciptakan-Nya dengan sia-sia.

Sumber: Hidup Penuh Kekaguman oleh Arvan Pradiansyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar