Rabu, 24 Desember 2008

JUJUR

Siang ini tadi yayangku tiba-tiba nelpon. Makan siang yuk, ajaknya. Oke, jawabku. So she picked me up at the lobby of Jakarta Stock Exchange building.
Selepas SCBD, kami masih belum ada ide mau makan dimana. Ide ke soto pak Sadi
segera terpatahkan begitu melihat bahwa yang parkir sudah sampai sebrang-sebrang.

Akhirnya kami memutuskan makan gado-gado di Kertanegara. Bisa makan di mobil soalnya. Sampai di sana masih sepi. Baru ada beberapa mobil. Kami masih bisa milih parkir yang enak. Mungkin karena masih pada jumatan. Begitu parkir, seperti biasa, joki gado-gado sudah menanyakan mau makan apa, minum apa. Kami pesan dua porsi gado-gado + tehbotol.

Sambil menunggu pesanan, kami pun ngobrol. So, ketika tiba2 ada seorang pemuda lusuh nongol di jendela mobil kami, kami agak kaget. "Semir om?", tanyanya.

Aku lirik sepatuku. Ugh, kapan ya terakhir aku nyemir sepatuku sendiri?
Aku sendiri lupa. Saking lamanya. Maklum, aku kan karyawan sok sibuk...
Tanpa sadar tanganku membuka sepatu dan memberikannya pada dia.

Dia menerimanya lalu membawanya ke emperan sebuah rumah. Tempat yang
terlihat dari tempat kami parkir. Tempat yang cukup teduh. Mungkin
supaya nyemirnya nyaman.

Pesanan kami pun datang. Kami makan sambil ngobrol. Sambil memperhatikan
pemuda tadi nyemir sepatuku. Pembicaraan pun bergeser ke pemuda itu.

Umur sekitar 20-an. Terlalu tua untuk jadi penyemir sepatu. Biasanya pemuda
umur segitu kalo tidak jadi tukang parkir or jadi kernet, ya jadi pak ogah.

Pandangan matanya kosong. Absent minded. Seperti orang sedih. Seperti ada yang dipikirkan.
Tangannya seperti menyemir secara otomatis. Kadang2 matanya melayang ke arah mobil-mobil
yang hendak parkir, (sudah mulai ramai). Lalu pandangannya kembali kosong.

Perbincangan kami mulai ngelantur kemana-mana. Tentang kira2 umur dia berapa, pagi tadi dia
mandi apa enggak, kenapa dia jadi penyemir dll. Kami masih makan saat dia selesai menyemir.
Dia menyerahkan sepatunya padaku. Belum lagi dia kubayar, dia bergerak menjauh, menuju
mobil-mobil yang parkir sesudah kami.

Mata kami lekat padanya. Kami melihatnya mendekati sebuah mobil.
Menawarkan jasa. Ditolak. Nyengir. Kelihatannya dia memendam kesedihan.
Pergi ke mobil satunya. Ditolak lagi. Melangkah lagi dengan gontai ke mobil
lainnya. Menawarkan lagi. Ditolak lagi. Dan setiap kali dia ditolak, sepertinya
kami juga merasakan penolakan itu. Sepertinya sekarang kami jadi ikut
menyelami apa yang dia rasakan.

Tiba-tiba kami tersadar. Konyol ah. Who said life would be fair anyway.
Kenapa jadi kita yang mengharapkan bahwa semua orang harus menyemir ? hihihi...
Perbincangan pun bergeser ke topik lain.

Di kejauhan aku masih bisa melihat pemuda tadi, masih menenteng kotak semirnya di satu tangan,
mendapatkan penolakan dari satu mobil ke mobil lainnya. Bahkan, selain penolakan, di beberapa mobil,
dia juga mendapat pandangan curiga. Akhirnya dia kembali ke bawah pohon.
Duduk di atas kotak semirnya. Tertunduk lesu...

Kami pun selesai makan. Ah, iya. Penyemir tadi belum aku bayar.
Kulambai dia. Kutarik 2 buah lembaran ribuan dari kantong kemejaku. Uang sisa parkir.
Lalu kuberikan kepadanya. Soalnya setahuku jasa nyemir biasanya 2 ribu rp.

Dia berkata kalem "Kebanyakan om. Seribu aja". BOOM. Jawaban itu tiba-tiba serasa petir di hatiku. It-just-does-not-compute-with-my-logic! Bayangkan, orang seperti dia masih berani menolak uang yang bukan hak-nya.

Aku masih terbengong-bengong waktu nerima uang seribu rp yang dia kembalikan.
Se-ri-bu Ru-pi-ah. Bisa buat apa sih sekarang? But, dia merasa cukup dibayar segitu.

Pikiranku tiba-tiba melayang. Tiba-tiba aku merasa ngeri.
Betapa aku masih sedemikian kerdil. Betapa aku masih suka merasa kurang dengan gajiku. Padahal keadaanku sudah -jauh- lebih baik dari dia.

Allah sudah sedemikian baik bagiku, tapi perilaku-ku belum seberapa dibandingkan
dengan pemuda itu, yang dalam kekurangannya, masih mau memberi, ke aku, yang sudah berkelebihan.

Siang ini aku merasa mendapat pelajaran berharga. Siang ini aku seperti diingatkan.
Bahwa kejujuran itu langka.

Sudahkah kita berani jujur?
Kepada diri sendiri,
kepada orang lain,
dan kepada Allah ?

Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)

BUTIR PADI PERTANDA KASIH


Dua bersaudara bekerja bersama-sama di ladang milik keluarga mereka.
Yang seorang telah menikah dan memiliki sebuah keluarga besar.
Yang lainnya masih lajang.
Ketika hari mulai senja, kedua bersaudara itu membagi sama rata hasil yang
mereka peroleh.

Pada suatu hari, saudara yang masih lajang itu berpikir, "Tidak adil jika
kami membagi rata semua hasil yang kami peroleh. Aku masih lajang dan
kebutuhanku hanya sedikit." Karena itu, setiap malam ia mengambil sekarung
padi dari lumbung miliknya dan menaruhnya di lumbung milik saudaranya.

Sementara itu, saudara yang telah menikah itu berpikir dalam hatinya, "Tidak
adil jika kami membagi rata semua hasil yang kami peroleh. Aku punya istri
dan anak-anak yang akan merawatku di masa tua nanti, sedangkan saudaraku
tidak memiliki siapa pun dan tidak seorang pun akan peduli padanya pada masa
tuanya." Karena itu, setiap malam ia pun mengambil sekarung padi dari
lumbung miliknya dan menaruhnya di lumbung milik saudara satu-satunya itu.

Selama bertahun-tahun kedua bersaudara itu menyimpan rahasia itu
masing-masing, sementara padi mereka sesungguhnya tidak pernah berkurang,
hingga suatu malam keduanya bertemu, dan barulah saat itu mereka tahu apa
yang telah terjadi. Mereka pun berpelukan.

Jangan biarkan persaudaraan rusak karena harta, justru pereratlah
persaudaraan tanpa memusingkan harta.

Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)

BERAWAL DARI SEBUAH SAPAAN


"Ga usah" jawaban bersahabat dari seorang kenek bis kota kampus itu terus terang menghadirkan tanda tanya dalam hatiku "kenapa dia tidak mau menerima ongkos itu ?". Turun di terminal, sobatku yang talkactive itu memulai aksi yang baru, menghampiri gerobak pedagang air tebu.

Bapak itu buru-buru menyodorkan segelas air tebu es kepadanya, padahal dia belum meminta. Rupanya si bapak sudah melihat kedatangannya dari jauh. Bukan hari ini saja, seakan-akan setiap hari selalu ada orang baik untuknya.

Kemaren, ketika dia asyik berceloteh dengan teman-teman sewaktu jam istirahat, seorang ibu yang biasa mengusung dagangannya dari blok ke blok kelas kuliah memanggilnya. Dengan gembira dia kembali, "nih satu buat kamu" sambil membawa dua bungkus tahu isi, "dikasih si Ibu" lanjutnya sambil tersenyum kepada si Ibu yang juga tersenyum dengan bahagia.

Belum lagi, minggu yang lalu dia sukses memindahkan sepiring sate dosen ke tangannya. Aku berusaha sekuat tenaga menyibak kekuatan yang dimilikinya. Sobatku itu seorang yang sederhana, tidak kaya, tidak cantik, tidak terlalu berprestasi. Hanya satu kelebihannya yang tidak dimiliki orang lain. Ya.. aku mulai menyadari. Kelebihan itu juga tidak ada padaku.

Dia sangat hobby menyapa orang lain yang berlanjut dengan obrolan. Anehnya, dia tidak pernah kehabisan bahan. Dari terminal sampai kampus, sang kenek seakan mendapat tambahan semangat ketika dia ajak ngobrol. Begitu juga wajah pedagang tebu ketika dia bertanya tentang keadaan isteri dan anak-anaknya. Aha ! aku juga baru tahu kenapa si ibu rela memberikan tahu cuma-cuma untuknya.

Karena sifatnya yang ramah, dia tidak saja punya teman sesama fakultas, tapi juga dari fakultas lainnya. Merekalah yang "dipaksa"nya untuk membeli dagangan si ibu.

Masih dengan rasa penasaran, kucoba bertanya kepada kenek bis yang selalu memberi gratisan kepadanya "ga rugi tuh ?". Sungguh terperanjat aku mendengar jawaban knek itu "Wah, ga sebanding mba dengan jajan yang selalu diberinya untukku".

Aku tidak mencoba bertanya lebih jauh kepada pedagang air tebu, karena aku sudah menemukan jawabannya. Seperti kata seorang guru "Orang mendapatkan bukan dari apa yang dimintanya tapi dari apa yang diberikannya." Yah, sobatku melakukannya dengan tulus dan suka cita. Keramahtamahan dan kemuliaan budinya langsung dibalas Allah lewat kasih sayang hamba-hamba-Nya yang lain. Semuanya berawal dari sebuah sapaan. (fad)***

Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)

HIDUP PENUH KEKAGUMAN

Bayangkan sebuah peristiwa yang biasa dialami seorang anak kecil.

Suatu ketika anak itu melihat seekor ulat bulu yang meliuk-liuk
menuju tempat daun segar makanannya. Mata anak itu membelalak. Ia
mengulurkan tangannya dan berusaha menyentuh punggung ulat berbulu
tersebut dengan jarinya. Namun, tiba-tiba ia tersentak. Jarinya
terasa gatal. Ia mencoba sekali lagi, dan kali ini seputar jari
telunjuknya terasa tersengat. Ulat itu melingkar di jari telunjuknya
dan dari enam belas kaki ulat tadi terasa isapan-isapan. Anak itu
tertawa keras sambil mengamati sebagian ciptaan Tuhan yang tak
pernah dibayangkannya. Ia terpesona, takjub, dan dipenuhi rasa kagum.

Hal-hal seperti ini sering dialami seorang anak kecil: Segala
sesuatu tampak menakjubkan. Kalau ia melihat seekor ulat yang gemuk
berubah menjadi kupu-kupu yang berwarna kuning cerah ia akan
terpukau, terpesona, dan seolah-olah terhisap.

Kemudian terjadilah perubahan dalam hidup. Anak itu bertambah besar,
berkembang menjadi dewasa, dan barangkali sekarang menginjak
beberapa ulat yang dulu ia kagumi. Inilah yang sering kita alami.
Keajaiban kupu-kupu tak lagi menarik perhatian kita. Segalanya
tampak biasa-biasa saja. Kalau itu yang terjadi, kita perlu waspada
karena sesuatu yang hakiki mungkin telah hilang dari diri kita.

Mengapa ''penglihatan'' kita berbeda dari anak-anak? Ada tiga hal
yang mungkin terjadi. Pertama, berbeda dari anak-anak, kita
cenderung melakukan segala sesuatu dengan tergesa-gesa. Kita pun
sering mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus. Anda mungkin
sarapan pagi sambil membaca koran dan menonton televisi. Anda
menyetir mobil sambil menjawab telepon. Anda berbicara dengan
bawahan sambil mengetik di komputer.

Akibatnya Anda tak sepenuhnya menyadari apa yang sedang terjadi.
Anda jarang benar-benar ada di sini saat ini untuk menikmati dan
menyadari segala sesuatu. Lebih parah lagi, Anda cenderung
digerakkan dari luar, bukannya dari dalam diri Anda sendiri.

Untuk bisa menikmati keajaiban Anda justru harus memperlambat irama
hidup Anda. Jangan lupa, manusia bukanlah human doing yang terus
menerus melakukan pekerjaan. Kita adalah human being. Ini hanya akan
terjadi kalau kita hidup dengan irama yang lebih pelan. Hidup
seperti ini jauh lebih efektif, lebih berseni sekaligus lebih kaya.
Hidup lebih pelan memberikan kita waktu untuk berhenti, berpikir,
merenung, dan memutuskan sesuatu dengan penuh kesadaran. Kesadaran
inilah pintu untuk melihat keajaiban.

Kedua, kita kurang menghargai hal-hal kecil. Kita cenderung
memikirkan hal-hal yang kita anggap ''besar.'' Padahal alam semesta
ini didesain dari hal-hal kecil yang sangat rinci dan kompleks.
Eknath Easwaran, seorang guru meditasi, mengatakan bahwa keajaiban
Tuhan memiliki dimensi yang unik, yaitu ''lebih kecil dari yang
paling kecil dan lebih besar dari yang paling besar.'' Coba
perhatikan serangga dan hewan-hewan kecil lainnya. Lihatlah jutaan
planet dan galaksi di alam raya. Coba perhatikan susunan tubuh kita
sendiri. Anda akan merasa takjub dan kagum luar biasa.

Kalau kita menghargai setiap hal yang kita jumpai kita akan
menikmati keajaiban yang tiada habis-habisnya. Anda akan senantiasa
mendengar suara Tuhan pada setiap nafas yang berhembus, pada desir
angin yang berbisik.

Ketiga, dan ini lebih serius lagi, anak-anak mampu menangkap
keindahan karena mereka masih jernih, otentik, dan bersih. Mereka
masih sangat dekat dengan jiwa sejati kita.

Sewaktu kecil kita betul-betul merupakan makhluk spiritual. Pada
saat itu kebutuhan jasmani kita amat terbatas. Kita hanya
mengonsumsi benda-benda sebatas kebutuhan kita. Namun, semakin
dewasa kebutuhan kita semakin banyak. Yang lebih parah lagi, kita
telah mencampuradukkan kebutuhan dengan keinginan. Kebutuhan kita
sebetulnya terbatas, tapi keinginan tak ada batasnya. Bahkan,
setelah sebuah keinginan terpenuhi, keinginan yang lain pun segera
bermunculan.

Masalahnya, semakin kita memperturutkan keinginan, semakin jauhlah
kita dari diri kita yang asli. Keinginan selalu mengajak kita
meninggalkan diri sejati menuju ego. Padahal ego inilah akar dari
segala permasalahan yang kita hadapi. Semakin kita mendekati ego,
semakin kita akan kehilangan kontak dengan jiwa sejati kita. Ini
biasanya ditandai dengan keadaan depresi, mudah marah, masalah
lambung, dan tekanan darah tinggi.

Satu-satunya cara untuk mengatasi hal itu adalah dengan kembali
mendekati jiwa sejati kita. Inilah yang akan melahirkan ketentraman
sejati. Diri sejati sebenarnya berada sangat dekat, bahkan lebih
dekat dari tubuh kita sendiri. Inilah sebenarnya akar dari semua
keberadaan kita. Di sini lah kita akan menemukan solusi dari setiap
persoalan.

Kalau Anda mendekati diri sejati Anda, setiap momen akan terasa
segar, indah, dan menakjubkan. Lebih dari itu, perasaan-perasaan
takjub ini akan melahirkan satu hal: perasaan rindu untuk bertemu
dengan Yang Maha Indah. Kita sadar sepenuhnya bahwa tak ada sesuatu
pun yang diciptakan-Nya dengan sia-sia.

Sumber: Hidup Penuh Kekaguman oleh Arvan Pradiansyah

KASIH SEORANG AYAH


Sejak kuliah, radio merupakan salah satu teman yang selalu menemani
saya ketika sedang mengerjakan tugas, belajar, maupun santai.
Tidak pernah bosan rasanya mendengarkan acara-acara yang disajikan
oleh berbagai macam stasiun radio. Suatu malam, di sebuah stasiun
radio, sedang berlangsung acara dimana orang-orang berbagi pengalaman
hidup mereka. Perhatian saya yang semula tercurah pada tugas-tugas
kantor beralih ketika seorang wanita bercerita tentang ayahnya.
Wanita ini adalah anak tunggal dari sebuah keluarga sederhana yang
tinggal di pinggiran kota Jakarta. Sejak kecil ia sering dimarahi
oleh ayahnya.

Di mata sang ayah, tak satupun yang dikerjakan olehnya benar.
Setiap hari ia berusaha keras untuk melakukan segala sesuatu
sesuai dengan keinginan ayahnya, namun tetap saja hanya ketidakpuasan
sang ayah yang ia dapatkan. Pada waktu ia berumur 17 tahun,
tak sepatah ucapan selamat pun yang keluar dari mulut ayahnya.
Hal ini membuat wanita itu semakin membenci ayahnya. Sosok ayah
yang melekat dalam dirinya adalah sosok yang pemarah dan tidak
memperhatikan dirinya. Akhirnya ia memberontak dan tak pernah
satu hari pun ia lewati tanpa bertengkar dengan ayahnya.

Beberapa hari setelah ulang tahun yang ke-17, ayah wanita itu
meninggal dunia akibat penyakit kanker yang tak pernah ia
ceritakan kepada siapapun kecuali pada istrinya. Walaupun
merasa sedih dan kehilangan, namun di dalam diri wanita itu
masih tersimpan rasa benci terhadap ayahnya.

Suatu hari ketika membantu ibunya membereskan barang-barang
peninggalan almarhum, ia menemukan sebuah bingkisan yang
dibungkus dengan rapi dan di atasnya tertulis "Untuk Anakku
Tersayang". Dengan hati-hati diambilnya bingkisan tersebut dan mulai
membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah jam tangan dan sebuah buku
yang telah lama ia idam-idamkan. Di samping kedua benda itu, terdapat
sebuah kartu ucapan berwarna merah muda, warna kesukaannya. Perlahan
ia membuka kartu tersebut dan mulai membaca tulisan yang ada
di dalamnya, yang ia kenali betul sebagai tulisan tangan ayahnya.
"Ya Tuhan, Terima kasih karena Engkau mempercayai diriku
yang rendah ini Untuk memperoleh karunia terbesar dalam hidupku.
Kumohon Ya Tuhan, Jadikan buah kasih hambaMu ini Orang yang
berarti bagi sesamanya dan bagiMu. Jangan kau berikan jalan yang
lurus dan luas membentang. Berikan pula jalan yang penuh liku dan
duri Agar ia dapat meresapi kehidupan dengan seutuhnya. Sekali
lagi kumohon Ya Tuhan, Sertailah anakku dalam setiap langkah
yang ia tempuh. Jadikan ia sesuai dengan kehendakMu Selamat
ulang tahun anakku, Doa ayah selalu menyertaimu".

Meledaklah tangis sang anak usai membaca tulisan yang terdapat
dalam kartu tersebut. Ibunya menghampiri dan menanyakan apa yang
terjadi. Dalam pelukan ibunya, ia menceritakan semua tentang
bingkisan dan tulisan yang terdapat dalam kartu ulang tahunnya.
Ibu wanita itu akhirnya menceritakan bahwa ayah memang sengaja
merahasiakan penyakitnya dan mendidik anaknya dengan keras agar
sang anak menjadi wanita yang kuat, tegar dan tidak terlalu
kehilangan sosok ayahnya ketika ajal menjemput akibat penyakit
yang diderita...

Pada akhir acara, wanita itu mengingatkan para pemirsa agar
tidak selalu melihat apa yang kita lihat dengan kedua mata kita.
Lihatlah juga segala sesuatu dengan mata hati kita. Apa yang kita
lihat dengan kedua mata kita terkadang tidak sepenuhnya seperti
apa yang sebenarnya terjadi. "Kasih seorang ayah, seorang ibu,
saudara-saudara, orang-orang di sekitar kita, dan terutama kasih
Tuhan dilimpahkan pada kita dengan berbagai cara. Sekarang tinggal
bagaimana kita menerima, menyerap, mengartikan dan membalas kasih
sayang itu", kata wanita tersebut menutup acara pada malam hari itu.

Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)

SEBUAH KISAH TELADAN DARI NEGERI CINA


Di Propinsi Zhejiang China, ada seorang anak laki-laki yang luar
biasa, sebut saja namanya Zhang Da. Perhatiannya yang besar kepada
Papanya, hidupnya yang pantang menyerah dan mau bekerja keras, serta
tindakan dan perkataannya yang menyentuh hati membuat Zhang Da, anak
lelaki yang masih berumur 10 tahun ketika memulai semua itu, pantas
disebut anak yang luar biasa. Saking jarangnya seorang anak yang
berbuat demikian, sehingga ketika Pemerintah China mendengar dan
menyelidiki apa yang Zhang Da perbuat maka merekapun memutuskan untuk
menganugerahi penghargaan Negara yang Tinggi kepadanya. Zhang Da
adalah salah satu dari sepuluh orang yang dinyatakan telah melakukan
perbuatan yang luar biasa dari antara 1,4 milyar penduduk China.
Tepatnya 27 Januari 2006 Pemerintah China, di Propinsi Jiangxu, kota
Nanjing, serta disiarkan secara Nasional keseluruh pelosok negeri,
memberikan penghargaan kepada 10 (sepuluh) orang yang luar biasa,
salah satunya adalah Zhang Da.

Mengikuti kisahnya di televisi, membuat saya ingin menuliskan cerita
ini untuk melihat semangatnya yang luar biasa. Bagi saya Zhang Da
sangat istimewa dan luar biasa karena ia termasuk 10 orang yang
paling luar biasa di antara 1,4 milyar manusia. Atau lebih tepatnya
ia adalah yang terbaik diantara 140 juta manusia. Tetapi jika kita
melihat apa yang dilakukannya dimulai ketika ia berumur 10 tahun dan
terus dia lakukan sampai sekarang (ia berumur 15 tahun), dan satu-
satunya anak diantara 10 orang yang luarbiasa tersebut maka saya bisa
katakan bahwa Zhang Da yang paling luar biasa di antara 1,4 milyar
penduduk China.

Pada waktu tahun 2001, Zhang Da ditinggal pergi oleh Mamanya yang
sudah tidak tahan hidup menderita karena miskin dan karena suami yang
sakit keras. Dan sejak hari itu Zhang Da hidup dengan seorang Papa
yang tidak bisa bekerja, tidak bisa berjalan, dan sakit-sakitan.
Kondisi ini memaksa seorang bocah ingusan yang waktu itu belum genap
10 tahun untuk mengambil tanggungjawab yang sangat berat. Ia harus
sekolah, ia harus mencari makan untuk Papanya dan juga dirinya
sendiri, ia juga harus memikirkan obat-obat yang yang pasti tidak
murah untuk dia. Dalam kondisi yang seperti inilah kisah luar biasa
Zhang Da dimulai. Ia masih terlalu kecil untuk menjalankan tanggung
jawab yang susah dan pahit ini. Ia adalah salah satu dari sekian
banyak anak yang harus menerima kenyataan hidup yang pahit di dunia
ini. Tetapi yang membuat Zhang Da berbeda adalah bahwa ia tidak
menyerah.

Hidup harus terus berjalan, tapi tidak dengan melakukan kejahatan,
melainkan memikul tanggungjawab untuk meneruskan kehidupannya dan
papanya. Demikian ungkapan Zhang Da ketika menghadapi utusan
pemerintah yang ingin tahu apa yang dikerjakannya. Ia mulai lembaran
baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah. Dari rumah sampai
sekolah harus berjalan kaki melewati hutan kecil. Dalam perjalanan
dari dan ke sekolah itulah, Ia mulai makan daun, biji-bijian dan buah-
buahan yang ia temui. Kadang juga ia menemukan sejenis jamur, atau
rumput dan ia coba memakannya. Dari mencoba-coba makan itu semua, ia
tahu mana yang masih bisa ditolerir oleh lidahnya dan mana yang tidak
bisa ia makan. Setelah jam pulang sekolah di siang hari dan juga sore
hari, ia bergabung dengan beberapa tukang batu untuk membelah batu-
batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan itu. Hasil kerja
sebagai tukang batu ia gunakan untuk membeli beras dan obat-obatan
untuk papanya. Hidup seperti ini ia jalani selama lima tahun tetapi
badannya tetap sehat, segar dan kuat.

ZhangDa Merawat Papanya yang Sakit.

Sejak umur 10 tahun, ia mulai tanggungjawab untuk merawat papanya. Ia
menggendong papanya ke WC, ia menyeka dan sekali-sekali memandikan
papanya, ia membeli beras dan membuat bubur, dan segala urusan
papanya, semua dia kerjakan dengan rasa tanggungjawab dan kasih.
Semua pekerjaan ini menjadi tanggungjawabnya sehari-hari.

Zhang Da menyuntik sendiri papanya.

Obat yang mahal dan jauhnya tempat berobat membuat Zhang Da berpikir
untuk menemukan cara terbaik untuk mengatasi semua ini. Sejak umur
sepuluh tahun ia mulai belajar tentang obat-obatan melalui sebuah
buku bekas yang ia beli. Yang membuatnya luar biasa adalah ia belajar
bagaimana seorang suster memberikan injeksi/suntikan kepada
pasiennya. Setelah ia rasa ia mampu, ia nekad untuk menyuntik papanya
sendiri. Saya sungguh kagum, kalau anak kecil main dokter-dokteran
dan suntikan itu sudah biasa. Tapi jika anak 10 tahun memberikan
suntikan seperti layaknya suster atau dokter yang sudah biasa memberi
injeksi saya baru tahu hanya Zhang Da. Orang bisa bilang apa yang
dilakukannya adalah perbuatan nekad, sayapun berpendapat demikian.
Namun jika kita bisa memahami kondisinya maka saya ingin katakan
bahwa Zhang Da adalah anak cerdas yang kreatif dan mau belajar untuk
mengatasi kesulitan yang sedang ada dalam hidup dan kehidupannya.
Sekarang pekerjaan menyuntik papanya sudah dilakukannya selama lebih
kurang lima tahun, maka Zhang Da sudah trampil dan ahli menyuntik.

Aku Mau Mama Kembali.

Ketika mata pejabat, pengusaha, para artis dan orang terkenal yang
hadir dalam acara penganugerahan penghargaan tersebut sedang tertuju
kepada Zhang Da, Pembawa Acara (MC) bertanya kepadanya, "Zhang Da,
sebut saja kamu mau apa, sekolah di mana, dan apa yang kamu rindukan
untuk terjadi dalam hidupmu, berapa uang yang kamu butuhkan sampai
kamu selesai kuliah, besar nanti mau kuliah di mana, sebut saja.
Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebut saja, di sini ada banyak
pejabat, pengusaha, orang terkenal yang hadir. Saat ini juga ada
ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi,
mereka bisa membantumu!" Zhang Da pun terdiam dan tidak menjawab apa-
apa. MC pun berkata lagi kepadanya, "Sebut saja, mereka bisa
membantumu" Beberapa menit Zhang Da masih diam, lalu dengan suara
bergetar iapun menjawab, "Aku Mau Mama Kembali. Mama kembalilah ke
rumah, aku bisa membantu Papa, aku bisa cari makan sendiri, Mama
Kembalilah!" demikian Zhang Da bicara dengan suara yang keras dan
penuh harap.

Saya bisa lihat banyak pemirsa menitikkan air mata karena terharu,
saya pun tidak menyangka akan apa yang keluar dari bibirnya. Mengapa
ia tidak minta kemudahan untuk pengobatan papanya, mengapa ia tidak
minta deposito yang cukup untuk meringankan hidupnya dan sedikit
bekal untuk masa depannya, mengapa ia tidak minta rumah kecil yang
dekat dengan rumah sakit, mengapa ia tidak minta sebuah kartu
kemudahan dari pemerintah agar ketika ia membutuhkan, melihat
katabelece yang dipegangnya semua akan membantunya. Sungguh saya
tidak mengerti, tapi yang saya tahu apa yang dimintanya, itulah yang
paling utama bagi dirinya. Aku Mau Mama Kembali, sebuah ungkapan yang
mungkin sudah dipendamnya sejak saat melihat mamanya pergi
meninggalkan dia dan papanya.

Tidak semua orang bisa sekuat dan sehebat Zhang Da dalam mensiasati
kesulitan hidup ini. Tapi setiap kita pastinya telah dikaruniai
kemampuan dan kekuatan yg istimewa untuk menjalani ujian di dunia.
Sehebat apapun ujian yg dihadapi pasti ada jalan keluarnya...ditiap-
tiap kesulitan ada kemudahan dan Allah tidak akan menimpakan
kesulitan diluar kemampuan umat-Nya. Jadi janganlah menyerah dengan
keadaan, jika sekarang sedang kurang beruntung, sedang mengalami
kekalahan.... bangkitlah! karena sesungguhnya kemenangan akan
diberikan kepada siapa saja yg telah berusaha sekuat kemampuannya.

Sumber: KCM - Sabtu, 22 Juli 2006